Selasa, 16 Februari 2010

TERAPI SPIRITUAL UNTUK PASIEN PSIKOTIK, MUNGKINKAH?


Pada acara Gebyar Ramadhan bulan September tahun 2008 ini, rekan-rekan perawat di RS Jiwa Magelang selain mengadakan pengajian-pengajian tiap Kamis juga mengadaakan acara istimewa, yaitu seminar bertajuk ”Pendekatan Spiritual pada pasien gangguan jiwa”. Sebagai psikiater, saya diminta sebagai pembicara, lainnya adalah seorang guru keperawatan, dan seorang roghaniwan atau ustadz. Seminar ini disulut oleh, mulai tahun ini oleh bagian rehabilitasi ditawarkan perawat-perawat jiwa yang secara sukarela bergilir ke bangsal-bangsal untuk memberikan ceramah keagamaan singkat pada seluruh pasien sebangsal. Munculah pro dan kontra. Apakah upaya spiritual itu bisa diterima oleh seluruh pasien, yang praktis masih berwaham dan berhalusinasi? Apakah bukan malah kontraindikasi, atau memperburuk keadaannya? Untuk pasien-pasien nonpsikotik yang rawat jalan, hal ini tidak masalah.

Tulisan ini merupakan inti makalah saya, ditambah diskusi seru yang terjadi dari para peserta seminar yang terdiri atas para perawat jiwa, psikiater, psikolog, pekerja sosial, dan para petugas lain di RSJ Magelang.

Istilah ”spirit” dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti ”roh”, ”jiwa”, ”semangat”, ”arwah”, ”jin”, ”hantu”. Sedang ”spiritual” berarti ”bathin”, ”rohani”, ”bantuan bathin”, dan ”keagamaan”. Bukan berarti ”terapi sprititual” lalu berati ”terapi hantu-hanyuan”. Yang dimaksud terapi spiritual kurang lebih adalah terapi dengan memakai upaya-upaya untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Ini sama dengan terapi keagamaan, relijius, atau psikorelijius, yang berarti terapi dengan menggunakan faktor agama, kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian, ceramah keagamaan, kajian kitab suci, dsb. Hanya saja terapi spiritual lebih umum sifatnya, tidak selalu dengan agama formal, jadi lebih universal seperti yang kita lihat pada buku-buku teks. Yang dimaksud dalam diskusi ini adalah terapi spiritual dengan memakai agama formal yang dianut masing-masing pasien.

Panitia meminta saya untuk menjelaskan apa itu ”jiwa”, ”gangguan jiwa dan penggolongannya”, ”kesadaran”. Jiwa atau psyche sesungguhnya sangat sulit dijelaskan. Apakah ini sama dengan ”roh, sukma, bathin, rochani?”, tidak tepat benar. Yang jelas ”jiwa” itu tidak bisa dilihat, yang secara obyektif bisa dilihat adalah ”perilakunya (behaviour)”. Perilaku ini meliputi ekspresi kognitif, afektif, psikomotor dalam berkomunikasi dan interaksi dengan manusia lain. Orang tak bisa dinilai jiwa atau kepribadiannya bila ia sendirian ditengah padang pasir yang luas.

Pada tahun 1960an, psikosis dianggap sebagai perilaku yang ”menyimpang” akibat proses belajar yang keliru. Dalam diagnosis psikiatri, jiwa sama sekali tidak dibicarakan, yang ada adalah kelompok-kelompok sindrom perilaku yang digolong-golongkan. Inilah ”pandangan dunia” angkatan pertama : psikologi/psikiatri behaviorisme. Sampai sekitar 1970an, pandangan baku dalam psikiatri ialah bahwa psikosis (skizofrenia), diakibatkan oleh defek pada fungsi ego, ketidakmampuan mengendalikan dorongan dalam (inner drives), narsistik awal, ketidakmampuan beradaptasi dengan dunia luar yang menghasilkan ”dunia rekaan” seperti waham dan halusinasi, pengalaman masa kecil yang teraumatis terutama obyek-relasi yang salah dan pengaruh ibu yang menderita kecemasan. Jiwa diperhitungkan sebagai motif-motif tak sadar, terutama yang berkaitan dengan sex. Inilah angkatan kedua : psikoanalisis Freud dan pengikut-pengikutnya.

Pada 20 tahun berikutnya, konsep psikoanalisis mulai tergeser oleh penjelasan neurokimiawi. Psikosis skizofrenia adalah ”biologically-based brain desease”. Ketidakseimbangan neurotransmiter di celah sinaptik otak yang harus dibetulkan dengan obat psikotropik sepanjang hayat. Manusia dianggap organ-organ yang digerakkan mesin yang bila rusak diberi obat jangka panjang. Jiwa tetap tak tersentuh.

Pada tahun yang sama, survey psikiatris membuktikan bahwa 95% pasien psikiatrik memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap Tuhan, suatu pengalaman spiritual. Mulailah kemudian jiwa lebih jelas didekati, sebagai eksistensi manusia, harapan dan penderitaannya, makna hidup, makna Tuhan, pendekatan diri pada Tuhan. Mulailah ”angkatan ketiga” ; humanistis-eksistensial.

Jung berselisih pendapat dengan Freud karena keinginannya untuk menaikan psikoanalisis dari sekedar ”gejolak seksual” ke pengalaman kejiwaan manusia, yaitu pengalaman spiritual. Frankl menegaskan upaya ”rohaniah” manusia untuk mencari makna. Assaglioli menjelaskan tahap spiritual ketika manusia berhubungan dengan energi spiritual kreatif yang disebut sebagai suprakesadaran.

Jiwa manusia sekarang lebih diartikan sebagai pikiran dan alam perasaan manusia akan eksistensinya, makna hidupnya, menyerahkan dan mendekatkan diri pada Tuhannya. Maka mulailah terapi spiritual, yang dulu di jaman demonologi (gangguan jiwa karena setan) dalam sejarah psikiatri pernah menjadi terapi pokok pada gangguan mental, kembali dipertimbangkan sebagai upaya terapi selain terapi-terapi lain pada gangguan mental psikotik dan nonpsikotik. Masalahnya pada psikotik, ego dan pikiran rasional (penalaran) runtuh, timbul waham, halusinasi dan kerusakan daya nilai realitas, sehingga ini harus diperbaiki dulu dengan obat-obat antipsikotik sebelum terapi spiritual yang membutuhkan abstraksi itu bisa dijalankan.

Berpikir abstrak, konseptual, menilai realitas, jelas membutuhkan kesadaran. Apakah kesadaran itu? Kesadaran adalah kemampuan untuk menerima rangsang sensorik panca indra, minilai realitas dan orientasi, mengingat pengalaman yang lalu maupun sekarang. Kesadaran bisa dipandang dua hal. Kuantitatif, yaitu orientasi terhadap orang, waktu, tempat, situasi, bila baik disebut composmentis : dan kualitatif, untuk menilai realitas sekitar, yang bila terganggu nampak seperti mimpi atau berkabut. Kesadaran bisa terganggu oleh gejala-gejala psikotik seperti waham dan halusinasi.

Untuk terapi spiritual gangguan mental bisa dibagi dua golongan besar saja, yaitu nonpsikotik dan psikotik. Untuk non psikotik banyak jenisnya, seperti gangguan cemas, gangguan somatoform, depresi,gangguan kepribadian, dll. Sedang gangguan psikotik adalah : (1) Skizofrenia (5 tipe); (2) Gangguan Afektif Berat dengan gejala psikotik ( Bipolar manik dan Depresi Berat); (3) Skizoafektif; (4) Psikosis Polimorfik Akut; (5) Gangguan Waham Menetap; (6) Psikosis Non Organik lainnya; dan (7) Gangguan Psikotik Organik.

Mengapa pada gangguan psikotik (skizofrenia) terapi spiritual tidak bisa langsung dikerjakan? Bahkan merupakan kontraindikasi? Ciri gangguan psikotik adalah : ego yang collaps atau disfungsi, penalaran runtuh, adanya waham (pikiran terdistorsi), halusinasi (pendengaran, visual, penciuman, tactil) , gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), tingkah laku kacau atau katatonik, gangguan daya nilai realitas, da tidak adanya kesesuaian antara pikiran dengan perasaan dan tindakan. Karena hal itu semua maka pada psikotik, penderita tidak mampu mengarahkan kemauannya secara sadar, tidak mempunyai tilikan diri, dan tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pemberian terapi spiritual akan diinterpretasikan secara salah karena gejala-gejala itu semua berpengaruh kuat pada proses pikirnya. Misalnya, akan timbul rasa bersalah atau berdosa dan tidak berguna, yang berlanjut ke usaha bunuh diri. Atau munculnya kembali waham paranoid karena merasa mau ”dijejali” ide-ide agama oleh musuh-musuhnya secara terencana.

Apa syarat terapi spiritual bisa dikerjakan untuk pasien-pasien psikotik (skizofrenia)? Yaitu ; (1) bila dengan pengobatan antipsikotik selama 2-4 mg, gejala-gejala waham, halusinasi, inkoherensi dan tingkah laku kacau (gaduh gelisah) sudah mereda; (2) ego dan penalaran sudah mulai berfungsi kembali sehingga interpretasi terhadap ide-ide sudah tepat; (3) status mental tidak rentan/rapuh atau emosi sudah stabil; (4) bila perlu dengan skor Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS) yang sudah minimal.

Seperti apakah variasi pasien psikotik yang siap menerima terapi spiritual? Misalnya : (1) skizofrenia tak terinci (F20.3) yang sudah membaik, sudah lebih 6 bulan tidak ditengok atau diambil keluarganya; (2) pasien masuk dengan gejala samar skizofrenia residual, pasif apatis, keluarga hanya tidak mau merawatnya di rumah dengan alasan apapun; (3) pasien psikotik yang waham dan halusinasinya sudah reda, tapi masih impulsif dan cenderung lari pulang; (4) pasien depresi berat dengan gejala psikotik yang waham dan halusinasinya sudah reda meski harus hati-hati karena terapi spiritual bisa menyulut waham bersalah dan berdosanya; (5) psikosis polimorf akut (E23.0) yang dalam 3-5 hari sudah reda gaduh gelisah dan halusinasinya, tapi keluarga belum berani mengambil..

Terapi spiritual ada dua jenis, individual dan kelompok. Yang individual berarti suatu psikoterapi religius. Psikoterapi dengan memasukkan unsur-unsur religius. Yang kedua berbentuk kelompok. Mungkin seperti psikoterapi kelompok tapi memakai unsur keagamaan. Untuk kedua jenis ini berarti harus ada interaksi antara terapis dengan pasien. Bagi yang kelompok, saya usulkan dua model. Pertama, dalam bentuk ceramah keagamaan (religius) intensif untuk 15-20 pasien psikotik (setelah diseleksi, tidak seluruh pasien satu bangsal). Dengan memberi kesempatan pasien bertanya atau memancing pertanyaan. Model yang kedua sama dengan yang pertama tapi ditambah kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, doa, dzikir, pengkajian ayat-ayat suci.

Bagaimana substansi materi keagamaan yang cocok untuk diberikan sebagai terapi spiritual bagi pasien-pasien psikotik? Sebaiknya materi yang bersifat : (1) ajaran keagamaan yang tidak terlalu dogmatis, memvonis atau menghukum, penuh larangan, ancaman siksa neraka, dll; (2) ajaran agama (firman Tuhan, sabda Nabi, hadist) yang memberi tuntunan untuk berbagai tindakan dalam kehidupan sehari-hari; (3) ajaran keagamaan yang menyejukkan, bisa menetralisir konflik, memberi solusi problematika dalam kehidupan sehari-hari; (4) ajaran keagamaan yang mendekatkan diri pada Tuhan, memasrahkan diri dengan ichlas, tabah dan tawakal, memberi harapan dan pencerahan rochani.

Larson dkk (1982) dalam Dadang Hawari (2001) melaksanakan penelitian tentang terapi spiritual untuk pasien skizofrenia di RSJ. Mereka membandingkan keberhasilan terapi pada dua kelompok pasien skizofrenia. Kelompok pertama mendapat terapi konvensional (psikofaramaka) dan lain-lain tapi tidak mendapat terapi sipitual (keagamaan). Kelompok kedua mendapat terapi konvensional dan lain-lain dan mendapat terapi spiritual. Kedua kelompok tersebut dirawat di RSJ yang sama. Hasil penelitian ini cukup bermakna bahwa : (1) gejala klinis gangguan jiwa skizofrenia lebih cepat hilang pada kelompok kedua yang mendapat terapi spiritual; (2) pada kelompok kedua lamanya perawatan lebih pendek daripada kelompok pertama; (3) pada kelompok kedua, hendaya (impaiment) lebih cepat teratasi daripada kelompok pertama; (4) pada kelompok kedua kemampuan adaptasi lebih cepat daripada kelompok pertama. Terapi spiritual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian pada Tuhan, ceramah keagamaan dan kajian kitab suci.

Dalam diskusi, saya usulkan penelitian ini bisa ditiru dan diulang kembali disini, dengan memakai instrumen Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS) oleh para psikiater dan instrumen kesiapan pasien pulang oleh para perawat sebelum dan sesudah penelitian dikerjakan. Diambil 30 pasien skizofrenia dan 30 pasien skizofrenia untuk kontrol, yang sudah di matching, di seleksi dari sekitar 800 pasien yang tersebar di 26 bangsal RSJ Magelang. Untuk lama perawatan tidak relevan, karena di kebanyakan RSJ lama perawatan ditentukan oleh ”kesediaan” keluarga untuk mengambil pasien pulang. Meski pasien sudah baik dan dinyatakan boleh pulang, bila keluarga tak pernah menengok dan disurati tiga kali tak pernah datang, pasien akan tetap dirawat meski sudah lebih dari setahun.

Muncul kritik dari para perawat terhadap materi dari guru keperawatan yang menyamakan terapi spiritual sebagai terapi modalitas. Terapi spiritual tidak tepat bila dianggap sebagai terapi modalitas, kata para perawat yang tahu benar terapi modalitas itu. Muncul pula pertanyaan, kita ini bukan ahli agama, ulama, atau rochaniwan, bagaimana mungkin harus memberikan terapi spiritual? Ini dijawab, bahwa para ulama, rochaniwan, tidak menghadapi, merawat dan memikirkan pasien skizofrenia. Yang ”bergulat” setiap hari merawat skizofrenia adalah para perawat dan psikiater, jadi kitalah yang harus memberikan terapi religious itu dengan mempelajari ilmu agama masing-masing.

Muncul pula pendapat, bahwa menurut para kyai atau ustadz, orang ”sakit jiwa” atau ”gila” itu andaikan sholat, sholatnya tidak sah dan tidak akan diterima Tuhan. Ini sama dengan ibadah haji, bila orang menunaikan ibadah haji di Mekah sana dan psikotiknya kumat maka ia akan ditangkap asykar Arab dan dimasukkan asylum (RSJ) untuk dilepas lagi setelah musim haji selesai karena dianggap ibadahnya toh tidak sah. Lalu untuk apa diberi terapi spititual yang memakai sembahyang bersama dalam modelnya? Ini dijawab kakak kelas saya, dr Wildan, SpKJ yang cukup mendalam pengetahuan agamanya. Kita ini kok seperti ”bakulan”, sholat atau sembahyang dengan perhitungan sah atau tidak, diterima Tuhan atau tidak. Sembahyang atau sholat adalah upaya untuk mendekatkan diri, memasrahkan diri pada Tuhan, memuji kebesaran Tuhan, perkara diterima aua tidak itu bukan urusan kita, itu urusan Tuhan. Alangkah tidak adilnya Tuhan, atau tidak pemurahnya Tuhan, bila orang yang sakit jiwa memuji nama Nya, menyerahkan diri padaNya, dan tidak diterimaNya. Dan apakah kita sendiri yakin, bahwa kita yang waras ini bila sholat mesti diterima Tuhan? Kata-kata psikiater senior saya ini bagai petir disiang hari bolong yang menhantam ruang seminar Sasonobudoyo membuat seluruh hadirin terdiam tak berkutik.

Jadilah terapi spiritual akan dilaksanakan untuk pasien psikotik skizofrenia. Tapi dengan terlebih dahulu mengadakan penelitian untuk menilai sejauh mana manfaatnya, dan menyelenggarakan workshop model terapi dan pendalaman materi keagamaan. Pasien psikotik skizofrenia yang sudah reda gejalanya dan menunggu keluarganya menjemput pulang berhak sepenuhnya mendapat tuntunan ibadah keagamaan yang menenteramkan dan menyejukkan hati dengan mendekatkan diri pada Tuhannya.****

*) dr Inu Wicaksana, SpKJ(K)<>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar